Konflik Pulau Rempang dengan pemerintah juga menjadi perhatian internasional.
Beberapa media besar dari berbagai negara mulai menyelidiki penyebab konflik di pulau tersebut.
Sebagai contoh, majalah Time berbasis di New York, Amerika Serikat, melaporkan bahwa saat ini warga Rempang sedang berusaha menentang investasi pembuatan pabrik yang dilakukan oleh perusahaan asal China, Xinyi Group.
Mereka khawatir bahwa proyek tersebut akan mengancam keberlangsungan tempat tinggal mereka, dengan sekitar 7.500 warga terancam harus direlokasi.
Disorot Media Luar, Konflik Pulau Rempang Semakin Diselidiki
Media internasional seperti Time juga mencatat bahwa konflik Pulau Rempang ini menggambarkan, meningkatnya ketegangan antara pihak berwenang dan masyarakat lokal di seluruh Indonesia.
Terutama terkait dengan proyek infrastruktur yang seringkali mendapat dukungan finansial dari perusahaan-perusahaan China.
Proyek seperti ini sering kali mengancam untuk menggusur masyarakat adat yang telah lama mendiami wilayah tersebut.
Di Timur Tengah, media Qatar, Al Jazeera, juga menginvestigasi mengapa warga Rempang menolak investasi yang besar ini.
Al Jazeera mencatat bahwa pabrik tersebut dibangun di Rempang Eco-City.
Ini merupakan proyek gabungan antara Otoritas Zona Bebas Indonesia (BP Batam) dan perusahaan lokal, PT Makmur Elok Graha (MEG), yang telah bekerja sama dengan Xinyi Group.
Namun, relokasi warga dari perkampungan tradisional Melayu Rempang menjadi masalah besar, karena masyarakat Melayu ini telah tinggal di pulau tersebut sejak sebelum Indonesia merdeka.
Beberapa ahli juga memberikan pandangan mereka tentang konflik Pulau Rempang ini.
Ian Murdoch, seorang dosen studi politik dan keamanan di Murdoch University di Perth, menyatakan bahwa situasi di Rempang mencerminkan praktik umum yang melihat penduduk lokal sebagai penghambat pembangunan, dan ini seringkali dilakukan dengan kekerasan struktural.
Selain itu, think tank ISEAS-Yusof Ishak Institute, Fulcrum, mengemukakan bahwa konflik agraria ini juga dipicu oleh ketidakpastian hukum terkait tanah.
Pernyataan dari Menteri ATR Hadi Tjahjanto dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menjadi sorotan dalam konteks ini.
Mereka mengakui bahwa perubahan status fungsional tanah di Pulau Rempang telah menimbulkan konflik antara masyarakat dan pemerintah.
Presiden Joko Widodo juga telah merespons konflik Pulau Rempang ini.
Beliau menyatakan bahwa ini adalah masalah komunikasi terkait ganti rugi lahan dan memahami bahwa masalah lahan seringkali menjadi permasalahan dalam pembangunan infrastruktur.
Presiden Jokowi telah turun tangan untuk meminta penyelesaian yang tepat terhadap konflik ini, mengingat pentingnya berkomunikasi dengan baik dalam menyelesaikan masalah seperti ini.