Sedentary lifestyle merupakan suatu istilah terkait perilaku dan gaya hidup manusia yang terbilang masih relatif baru. Sebagian anggota masyarakat pun barangkali belum terlalu familiar mengenainya.
Padahal, sebetulnya relatif cukup banyak orang yang menjalani sedentary lifestyle, baik dengan sengaja ataupun tidak.
Perlu Anda ketahui, gaya hidup ini dapat beresiko mengancam kesehatan.
Apa Itu Sedentary Lifestyle?
Sedentary lifestyle adalah gaya hidup dengan karakteristik aktivitas di luar jam tidur yang hanya menghasilkan sedikit pengeluaran kalori.
Sederhananya, sedentary lifestyle artinya suatu gaya hidup yang minim aktivitas fisik, terutama yang berskala berat. Contohnya: menonton TV, bermain ponsel, bekerja di depan komputer, dll.
Klasifikasi Aktivitas Sedentary
Merujuk pada definisi di atas, maka aktivitas sedentary (sedentari) dapat diartikan sebagai jenis aktivitas yang minim pengeluaran kalori.
Berdasarkan durasi waktunya, Sedentary lifestyle tersebut diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu:
- Aktivitas sedentari level rendah (kurang dari 2 jam per hari)
- Sedentari level menengah (berlangsung antara 2 – 5 jam per hari)
- Sedentari level tinggi (berlangsung lebih dari 5 jam setiap harinya)
Pelaku Aktivitas Sedentary
Menilik definisi serta klasifikasinya, rasanya bisa dibilang hampir semua anggota masyarakat modern, khususnya di kota-kota besar, menerapkan gaya hidup ini.
Belakangan bahkan juga muncul suatu istilah yang kian memperjelas berkembangnya gaya hidup minim aktivitas ini, yakni ‘Kaum Rebahan’.
Rentang usia pelaku gaya hidup ini pun relatif cukup luas, yaitu mulai dari anak-anak sampai orang dewasa dan lanjut usia.
Penyebab Munculnya Gaya Hidup Sedentary
Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya gaya hidup minim aktivitas fisik di masyarakat, antara lain:
Kemajuan teknologi
Munculnya berbagai inovasi yang mampu meningkatkan kualitas hidup, kenyamanan, serta kemudahan beraktivitas bagi masyarakat tentunya merupakan hal yang positif.
Ironisnya, hal ini juga mendorong terbentuknya budaya instan yang membuat orang cenderung ingin segala sesuatunya serba mudah dan cepat.
Jadi, mereka seringkali lebih suka menggunakan mesin atau alat bantu ketimbang mengerahkan lebih banyak energi untuk melakukan sesuatu.
Contohnya, orang lebih memilih naik lift ke lantai dua alih-alih tangga, naik kendaraan bermotor alih-alih jalan kaki beberapa puluh meter.
Hal itu belum termasuk tuntutan pekerjaan yang mengharuskan seseorang untuk fokus duduk berjam-jam di depan layar komputer atau laptopnya.
Merebaknya pandemi
Munculnya pandemi COVID-19 belum lama ini merupakan faktor lain yang juga makin mendorong terbentuknya gaya hidup minim aktivitas (sedentary).
Anda tentu masih ingat bahwa selama pandemi hampir semua orang terpaksa harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk berdiam di rumah.
Semua aktivitas belajar mengajar, bekerja, bahkan berkomunikasi dengan teman dan keluarga harus dilakukan secara daring. Anda bahkan nyaris tidak diperbolehkan keluar rumah untuk menyapa tetangga.
Hal ini otomatis membuat aktivitas fisik yang bisa dilakukan jadi relatif lebih terbatas. Sebutan Kaum Rebahan pun makin santer terdengar, terutama untuk kalangan generasi muda.
Situasi sekarang memang sudah mulai membaik. Namun, pola perilaku yang sempat terbentuk akibat beradaptasi terhadap pembatasan sosial itu belum tentu akan otomatis kembali seperti semula.
Faktor internal individu
Selain pengaruh kondisi eksternal, faktor internal juga bisa menjadi alasan individu menerapkan gaya hidup minim aktivitas ini.
Seperti yang tentunya sudah Anda ketahui, setiap orang memiliki karakter, minat, bakat, dan kemampuan yang berbeda satu sama lain.
Ada sebagian orang yang berjiwa bebas dan secara alami menyukai berbagai kegiatan fisik. Sementara itu, ada pula yang memiliki pembawaan lebih tenang dan pendiam.
Bahaya yang Mengintai di Balik Sedentary Lifestyle
Fenomena munculnya gaya hidup minim aktivitas ini pun telah menarik minat sejumlah pihak untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Hasilnya, sejumlah sedentary lifestyle jurnal menyebut bahwa gaya hidup ini berdampak pada tiga aspek kehidupan sebagai berikut:
Menyebabkan timbulnya berbagai masalah kesehatan fisik
Obesitas, penyakit jantung, dan diabetes tipe 2 tercatat sebagai beberapa gangguan kesehatan yang mengancam orang-orang dengan tingkat pergerakan yang rendah.
Hal ini tentunya perlu Anda waspadai karena bukan hanya akan bisa menyebabkan menurunnya produktivitas, melainkan juga kematian.
Perlu Anda catat pula bahwa berbagai masalah kesehatan tersebut tidak hanya berpotensi menimpa orang dewasa, tetapi juga kelompok usia muda.
Mempengaruhi kesehatan mental
Tingkatan aktivitas fisik berpengaruh terhadap produksi hormon adrenalin dan endorfin yang membuat suasana hati lebih positif. Hal itu akan bisa mengurangi resiko Anda mengalami depresi.
Sejumlah studi ilmiah dengan puluhan ribu responden juga menyimpulkan bahwa seseorang yang kurang bergerak lebih beresiko mengalami mental health disorder.
Mempengaruhi kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi
Sedentary lifestyle membuat orang cenderung lebih banyak berinteraksi dengan atau melalui gawai, bahkan ketika sedang berdekatan dengan orang lain.
Contohnya, orang memilih menelepon teman di kubikel seberang alih-alih bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri untuk berbicara secara langsung.
Hal ini barangkali memang lebih praktis, terutama bila Anda sedang mengerjakan sesuatu yang penting dan memerlukan saran secepatnya.
Namun, jika berlangsung terus menerus, hal itu dapat menurunkan empati dan kepekaan Anda terhadap bahasa non-verbal saat berinteraksi dengan sesama.
Padahal kedua hal tersebut sangat berpengaruh bagi Anda untuk dapat menjalin komunikasi yang efektif serta kedekatan dengan orang lain.
Cara Mengurangi dan Mengantisipasi Dampak Negatif Sedentary Lifestyle
Mengingat dampak negatif gaya hidup minim aktivitas ini bisa dibilang mencakup hampir semua aspek penting kehidupan, Anda perlu serius menyikapinya.
Ada beberapa cara yang bisa Anda lakukan untuk meminimalkan penerapan sekaligus dampak negatif pola hidup minim aktivitas ini, antara lain:
Cari peluang agar tetap bisa lebih aktif bergerak
Sebetulnya, tidak terlalu sulit jika Anda mau mencari celah peluang agar bisa tetap aktif meski situasi seakan mengharuskan sebaliknya, contoh:
- Pilihlah naik tangga alih-alih lift untuk naik ke lantai dua atau tiga.
- Parkirlah kendaraan agak jauh supaya Anda bisa berjalan kaki sedikit untuk mencapai tempat tujuan.
- Alih-alih bermain ponsel, coba lakukan aktivitas lain untuk mengisi waktu luang, misalnya berkebun, membersihkan rumah, dll.
Motivasi dan disiplinkan diri untuk menjalani gaya hidup yang aktif
Disiplin selalu menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam melakukan sesuatu. Anda bisa juga memanfaatkan teknologi untuk membantu mendisiplinkan diri.
Contoh: Pasanglah alarm pengingat agar Anda bangkit dari depan layar komputer setiap setengah atau satu jam sekali dan patuhilah.
Bangun komunitas untuk saling menyemangati
Dukungan dari orang lain biasanya akan membuat Anda lebih bersemangat dalam melakukan sesuatu. Jadi, cobalah ajak teman atau keluarga Anda untuk ikut berpartisipasi.
Anda tak perlu malu karena dengan melakukan hal itu berarti Anda tengah membantu mereka agar bisa menjadi lebih sehat.
Penerapan sedentary lifestyle adakalanya memang sulit untuk dihindari. Namun, Anda masih bisa berupaya untuk meminimalkannya agar kesehatan fisik, mental, dan komunikasi bisa tetap terjaga.