Anwar Usman diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) setelah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) membacakan putusan nomor 2/MKMK/L/11/2023 tentang dugaan pelanggaran etik yang melibatkan hakim tersebut.
Sidang yang berlangsung di gedung MK pada Selasa (7/11/2023) tersebut dipimpin oleh majelis yang terdiri atas Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie serta anggota Bintan R Saragih dan Wahiduddin Adams.
Putusan MKMK Atas Anwar Usman Diberhentikan dari MK
Dalam pengumuman putusan Anwar Usman diberhentikan, Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie, menyatakan bahwa hakim terlapor, terbukti melakukan pelanggaran berat.
“Sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi diberlakukan kepada hakim terlapor,” kata Jimly.
Jimly juga menyebutkan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Anwar Usman, termasuk ketidakberpihakan dalam proses pengambilan keputusan nomor 90/PUU-XXI/2023, kurangnya pelaksanaan fungsi kepemimpinan sebagai Ketua MK, serta membuka peluang intervensi pihak luar dalam pengambilan putusan.
Selain itu, ceramah Anwar Usman tentang kepemimpinan usia muda di Universitas Islam Sultan Agung Semarang juga dianggap melanggar prinsip ketidakberpihakan.
MKMK juga menjatuhkan sanksi lain terhadap Anwar Usman dengan melarangnya terlibat dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilu.
MKMK memerintahkan Wakil Ketua MK untuk mencari pengganti Anwar Usman dalam waktu 48 jam setelah putusan ini diucapkan.
Anggota MKMK, Bintan R Saragih, memberikan pendapat berbeda terhadap putusan tersebut.
Bintan berpendapat bahwa seharusnya Anwar Usman diberhentikan tidak dengan hormat karena melakukan pelanggaran berat, sesuai dengan peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK.
Bintan menekankan bahwa pemecatan Anwar Usman dari MK adalah langkah yang seharusnya diambil.
Pendapat Bintan berbeda disebabkan oleh latar belakangnya sebagai seorang akademisi yang telah berkarir selama puluhan tahun sebagai dosen.
Bintan berpegang pada aturan yang berlaku dan meyakini bahwa pelanggaran etik yang dilakukan oleh Anwar Usman harus dihukum dengan pemecatan penuh sesuai peraturan.
Putusan terhadap Anwar Usman ini berkaitan dengan laporan yang diajukan oleh berbagai pihak, termasuk Denny Indrayana, PEREKAT Nusantara, TPDI, TAPP, Perhimpunan Pemuda Madani, PBHI, Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, LBH Barisan Relawan Jalan Perubahan, para guru besar dan pengajar hukum yang tergabung dalam Constitutional Administrative Law Society (CALS), Advokat Pengawal Konstitusi, LBH Yusuf, Zico Leonardo Djagardo Simanjuntak, KIPP, Tumpak Nainggolan, BEM Unusia, Alamsyah Hanafiah, serta PADI.
Selain Anwar Usman diberhentikan, MKMK juga mengumumkan putusan terkait laporan pelanggaran etik yang melibatkan enam hakim MK lainnya.
Mereka dinyatakan terbukti melanggar kode etik dalam menjaga informasi rahasia rapat pemusyawaratan hakim yang bersifat tertutup.
Sanksi teguran lisan diberlakukan terhadap Arief Hidayat, sementara hakim lainnya terkena sanksi tertulis.
MKMK menyatakan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.
Mereka menolak permintaan pelapor untuk melakukan penilaian ulang terhadap putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat usia capres-cawapres.
Putusan tersebut memungkinkan warga negara Indonesia di bawah 40 tahun untuk menjadi capres atau cawapres asal pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih dalam pemilu atau pilkada.
MKMK juga mengumumkan putusan terkait laporan pelanggaran etik oleh Saldi Isra, Wakil Ketua MK, yang menilai bahwa ia tidak melanggar kode etik terkait dissenting opinion dalam putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023.