Kasus sifilis di Indonesia melonjak per 2022, yakni dengan adanya penambahan sebanyak 20.783.
Dari jumlah tersebut, 0,24 persen kasus sifilis di Indonesia di antaranya merupakan kelompok usia muda. Yakni, dari lima hingga 14 tahun atau sebanyak 49 anak.
Persentasenya lebih tinggi pada usia kurang dari 4 tahun, yakni berada di angka tiga persen (623 pasien).
Penderita sifilis pada anak lebih mengkhawatirkan daripada penderita orang dewasa. Pasalnya bisa berujung kecatatan permanen hingga fatal atau kematian.
Kasus Sifilis di Indonesia Pada Anak Mengalami Lonjakan
Jika dilihat pada data anak remaja di kisaran 15 hingga 19 tahun, total kasus sifilis di Indonesia lebih banyak.
Bahkan, sampai menembus 6 persen dari 20 ribu pasien yang ditemukan atau di angka 1.247 kasus. Angka ini didasarkan pada data dari Kementerian Kesehatan RI.
Penderita sifilis saat ini masih didominasi usia produktif, antara 25 hingga 49 tahun atau mencapai 63 persen dari total laporan 2022, yakni 13.093 orang.
“Jenis kelamin perempuan 46 persen, sementara laki-laki 25 persen,” demikian keterangan dari Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi, Rabu (10/5/2023).
Penyebab penularan penyakit sifilis dari banyak faktor. Seperti pada kelompok anak paling banyak tertular dari ibu saat persalinan sebesar 27 persen.
Sementara kelompok lain ditemukan dari kegiatan seks berisiko dan sebesar 28 persen dari seks sesama jenis.
Jumlah kasus sifilis di Indonesia terbanyak ditemukan di Papua dengan angka yang mencapai 3.864.
Di tempat kedua ialah wilayah Jawa Barat dengan total kasus 3.186 dari 305.816 orang yang diperiksa.
Setelahnya di tempat ketiga dihuni DKI Jakarta dengan mencatat 1.897 kasus sifilis di 2022 dengan total 71 ribu orang yang dites.
“Konsekuensi akibat infeksi menular seksual cukup banyak, misalnya infertilitas akibat gonore, angka kelahiran mati meningkat, bayi lahir cacat akibat sifilis serta infeksi human papillomavirus sebagai pencetus kanker mulut rahim yang juga menjadi penyebab kematian yang cukup besar saat ini. Maka pengendalian IMS sudah menjadi seharusnya menjadi program yang harus dilaksanakan mulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama hingga fasililtas kesehatan tingkat lanjut,” pesan Imran.