Prediksi terkait krisis biaya hidup dalam jangka pendek dan jangka panjang disampaikan WEF. Krisis lain yang disampaikan oleh lembaga ini, seperti bencana alam dan cuaca ekstrem juga menjadi ancaman serius.
Munculnya prediksi krisis biaya hidup tersebut dibuat berdasarkan Global Risk Report atau GRC dan Forum Ekonomi Dunia atau WEF.
Pandemi dan perang antara Rusia vs Ukraina merembet ke risiko lain dalam dua tahun mendatang.
Bagaimana Prediksi Krisis Biaya Hidup oleh Para Ahli?
Pandemi yang terjadi secara global dan perang di Eropa membawa krisis, inflasi, pangan, dan keamanan.
Situasi ini ternyata menciptakan risiko lanjutan yang mendominasi dua tahun mendatang. Risiko resesi dan meningkatnya kesulitan utang, seperti krisis Sri Lanka.
Laporan tersebut menyatakan masyarakat terpolarisasi akibat dari disinformasi dan misinformasi. Kedua kemungkinan tersebut masih berkaitan dengan aksi iklim cepat dan perang geoekonomi.
Hasil laporan GRR melibatkan lebih dari 1.200 ahli, termasuk pembuat kebijakan dan pemimpin industri.
Studi tersebut memetakan beberapa risiko yang terjadi dalam risiko jangka pendek dan jangka panjang berdasarkan tingkat keparahannya.
Dampak jangka pendek
Laporan Risiko Global telah memprediksi terjadinya krisis biaya hidup menjadi masalah yang paling serius dalam dua tahun mendatang.
Tak hanya itu, bencana alam dan cuaca ekstrem, konfrontasi geoekonomi kegagalan mitigasi perubahan iklim dan kohesi sosial mulai terkikis.
Ancaman lain yang mungkin terjadi dalam jangka pendek, misalnya kerusakan lingkungan skala besar, keamanan siber, dan krisis sumber daya alam.
Tak hanya biaya hidup di Inggris yang jadi masalah, melainkan masalah ini akan dihadapi masyarakat global.
Saadia Zahidi selaku Managing Director WEF mengatakan jika risiko jangka pendek didominasi sektor energi, pangan, utang dan bencana.
Untuk kelompok ekonomi rentan akan menderita karena krisis bertubi-tubi. Iklim dan perkembangan sumber daya manusia wajib menjadi perhatian utama para pemimpin dunia.
Kerjasama menjadi satu-satunya cara agar bisa terlepas dari krisis.
Dampak Jangka panjang
Laporan WEF berkait risiko global dipuncaki kegagalan mitigasi perubahan iklim dan gagal beradaptasi pada perubahan iklim.
Masalah tersebut akan dibarengi dengan kejadian bencana alam dan hilangnya keanekaragaman hayati dan hancurnya ekosistem.
Ketika migrasi paksa skala besar terjadi, maka menyebabkan krisis sumber daya alam. Beberapa hal memperparah krisis, misalnya konfrontasi geoekonomi dan insiden kerusakan lingkungan skala besar.
Mengingat ancaman Indonesia krisis dan secara global, maka beberapa negara perlu bekerja sama secara efektif dalam mitigasi iklim.
Jika tidak terlaksana dengan baik, maka selain ancaman krisis biaya hidup, akan terjadi juga pemanasan global dan gangguan ekologis berkelanjutan.
Head of Sustainability, John Scott menyatakan keterkaitan antara dampak perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Perlu kebijakan dan investasi yang signifikan terkait menanggulangi dampak perubahan iklim agar tidak berdampak buruk pada ekosistem.
Risiko Ancam Komitmen Perlindungan Iklim Indonesia
Melalui laporan Risiko Global Edisi ke-18 dari WEF, berbagai risiko global menjadi ancaman komitmen perlindungan iklim yang direncanakan banyak negara.
Kendati pertumbuhan ekonomi di Indonesia diperkirakan masih cukup kuat di tahun ini, ancaman risiko global tetap menjadi sorotan.
Satu dekade mendatang, perkiraan krisis lingkungan didorong adanya tren geopolitik serta ekonomi. Krisis biaya hidup menjadi yang terparah selama dua tahun mendatang dan mencapai puncaknya.
Cost of living dipicu oleh biaya energi dan makanan yang tinggi. Hilangnya keanekaragaman hayati hancurnya ekosistem paling cepat memburuk selama satu dekade.
Douglas Ure selaku President Director dan CEO Marsh Indonesia menyatakan banyak tujuan dan komitmen dibuat sehubungan dengan perlindungan iklim berkelanjutan.
Namun, untuk mewujudkan komitmen tersebut menjadi hal berbeda. Banyak negara membuat komitmen, lalu mundur tidak menapai komitmen.
Pemangku kepentingan sudah mengambil tindakan perubahan iklim, seperti sumber daya alternatif, praktik pertanian yang lebih baik dan rantai pasok berkelanjutan.
Diversifikasi dan adaptasi dari perubahan iklim mulai dilihat sebagai prioritas jangka pendek. Douglas mengingatkan pentingnya menjaga komitmen perlindungan iklim yang sudah cukup baik di Indonesia.
Indonesia Cari Solusi Mengatasi Krisis Biaya Hidup
Pemerintah Indonesia aktif mencari solusi untuk mengatasi krisis biaya hidup yang tengah dihadapi dunia. Keadaan ini diperparah dengan konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina.
Mencari solusi melalui GCRG
Melalui pertemuan Global Crisis Response Group, Indonesia berharap mendapatkan solusi. Pertemuan tersebut membahas implementasi dari rekomendasi stabilisasi pasar global dan mengatasi ketidakpastian harga komoditas.
Krisis global menjadi berita utama di seluruh dunia karena konflik Rusia Ukraina. Deputi Sekjen PBB menggarisbawahi kesulitan menemukan solusi efektif tanpa paket kebijakan terintegrasi.
GCRG juga menyoroti pentingnya membantu negara-negara terdampak agar bisa meningkatkan likuiditas dan ruang fiskal. Sehingga mengamankan neraca pembayaran serta membantu program perlindungan sosial.
Mendorong lembaga keuangan internasional memberikan biaya serta memperluas cakupan negara yang bisa menerima pembiayaan jadi solusi atasi krisis biaya hidup.
Mencabut aksi pembatasan impor serta melarang upaya penimbunan pasokan akan sangat membantu. Pemerintah terkait juga harus meningkatkan akses petani ke benih, pupuk dan input lainnya.
Respon G20 terhadap prospek ekonomi yang kian meredup
Krisis biaya hidup yang terjadi secara global juga dibahas di G20. Terakhir kali G20 bertemu di bulan April tahun lalu.
IMF memangkas perkiraan pertumbuhan global menjadi 3,6 persen di tahun lalu dan tahun 2023. Namun, risiko bisa memburuk mengingat adanya potensi penurunan.
Berbagai krisis yang dihadapi masyarakat dunia semakin intens. Sehingga memunculkan guncangan harga komoditas yang memperlambat pertumbuhan dan memperburuk krisis.
Ada prioritas yang harus dilakukan untuk menghadapi krisis biaya hidup, yaitu:
Berupaya menurunkan tingkat inflasi
Tingkat inflasi yang tinggi secara terus-menerus akan menenggelamkan upaya pemulihan dan merusak standar hidup. Masalah ini menjadi berat untuk kategori masyarakat rentan.
Sebagian besar bank sentral perlu memikirkan kebijakan moneter yang ketat. Terutama untuk negara dengan inflasi yang mulai mengalami perubahan harga dalam jangka pendek.
Tanpa adanya pengetahuan moneter yang lebih kuat, maka akan menimbulkan dampak lebih besar lagi.
Kebijakan fiskal untuk menurunkan inflasi
Negara dengan utang tinggi perlu memperketat kebijakan fiskal. Hal ini akan membantu mengurangi permintaan dan akan mengurangi tekanan harga.
Perlu langkah-langkah sementara untuk mendukung rumah tangga yang rentan mengalami guncangan baru. Terlebih lagi terkait dengan harga energi atau pangan yang tinggi.
Bantuan langsung tunai terbukti efektif dibandingkan subsidi distorsif atau pengontrolan harga yang biasanya gagal untuk mengurangi biaya hidup berkelanjutan.
Dorongan kerjasama global
Untuk menghindari potensi krisis serta meningkatkan pertumbuhan diperlukan koordinasi secara internasional. Membangun kemajuan terkini di berbagai bidang, seperti pajak dan perdagangan penting dilakukan.
Dana baru untuk pencegahan dan kesiapsiagaan pandemi dari G20 bisa dimanfaatkan. Hal yang paling mendesak adalah tindakan untuk mengurangi Cost of living.
Untuk mengurangi kelaparan dan kekurangan gizi lebih lanjut pada negara-negara termiskin, dunia harus memberikan dukungan.
Dukungan bisa diwujudkan melalui pembiayaan bilateral dan multilateral baru melalui World Food Programme.
Masalah krisis biaya hidup dan bencana alam dalam 2 tahun mendatang menjadi momok menakutkan. Diperlukan kerjasama antar negara untuk menanggulangi masalah global ini.