Rapat Paripurna DPR telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum PIdana. RKUHP disahkan DPR setelah mengambil keputusan dalam rapat yang diadakan 6 Desember 2022.
RKUHP disahkan ini sempat tertunda lantaran beberapa protes dari sejumlah masyarakat. Peristiwa demo besar-besaran yang terjadi di sejumlah daerah pada September 2019.
Adanya pasal-pasal karet yang bisa jadi polemik menjadi alasan demo besar-besaran tersebut.
Dampak RKUHP Disahkan DPR
Rapat paripurna yang digelar di kompleks parlemen memberi pengaruh besar. Setelah pengesahan RKUHP, maka beleid hukum pidana terbaru akan menggantikan KUHP.
KUHP yang selama ini dijadikan dasar hukum merupakan warisan dari pemerintah kolonialisme Belanda di Indonesia.
Dalam rapat paripurna tersebut, seluruh peserta sidang menyetujui pengesahan RKUHP. Sufmi Dasco kemudian mengetuk palu sebagai tanda RUKH telah sah dijadikan undang-undang.
Selanjutnya, KUHP terbaru akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo untuk disahkan dan diberi nomor untuk dimasukkan ke dalam lembar negara.
Paripurna yang mengesahkan RKUHP terus tertunda hingga mendekati akhir masa jabatan DPR periode 2014 hingga 2019.
Jadwal pengesahan pada akhirnya bisa berlangsung sepekan setelah putusan tingkat I diambil bersama pemerintah dalam rapat Komisi I DPR.
Komisi III sebelumnya menyetujui rancangan KUHP, kemudian dibawa ke paripurna untuk disahkan menjadi UU. Kalangan publik masih melihat materi dalam draft RKUHP yang masih kacau.
Protes pengusaha hotel jelang pengesahan
Jelang pengesahan, para pengusaha hotel melayangkan protes, lantaran pasal RKUHP akan memberikan pengaruh negatif pada sektor pariwisata.
Salah satunya berkaitan dengan pasal perzinahan dengan ancaman penjara paling lama 1 tahun atau denda mencapai Rp10 juta.
Pengusaha khawatir aturan tersebut akan mempengaruhi jumlah wisatawan yang datang ke Indonesia. Sehingga, lebih memilih berpindah ke negara-negara lain.
Bagaimana jika masyarakat menolak pengesahan ini?
Dasco mengungkapkan bahwa pasal-pasal kontroversial sudah dipertimbangkan dengan baik dan sudah dilakukan pengujian. Jika dirasa RKUHP bermasalah, maka DPR akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Ada beberapa pasal yang sudah diharmonisasikan untuk menghindari polemik. Masyarakat yang tidak puas bisa melayangkan tuntutan melalui jalur konstitusional diajukan ke MK.
12 Aturan yang dianggap Bermasalah Setelah RKUHP Disahkan
Koalisi Masyarakat Sipil menilai ada 12 aturan yang bermasalah dalam draft RKUHP disahkan, antara lain:
Pasal living law
Koalisi menggap pasal yang mengatur living law atau hukum hidup di masyarakat membuka celah penyalahgunaan hukum adat.
Pasal yang mengatur living law menjadikan pelaksanaan hukum adat sakral bukan kewenangan masyarakat adat, melainkan berpindah ke negara.
Tak hanya itu, koalisi juga menganggap aturan tersebut akan mengancam perempuan dan kelompok yang rentan.
Saat ini di Indonesia masih ada ratusan perda yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Hukuman mati
Pasal RKUHP disahkan selanjutnya yang memunculkan perdebatan yaitu soal hukuman mati. Koalisi masyarakat sipil menganggap aturan tersebut tidak sesuai dengan hak hidup seseorang.
Banyak negara yang menghapus ketentuan hukuman mati dalam kitab undang-undang hukum pidananya.
Larangan penyebaran paham tak sesuai Pancasila
RKUHP memuat larangan penyebaran paham yang tidak memiliki nilai kesesuaian terhadap Pancasila. Misalnya, ideologi komunisme, marxisme, atau leninisme.
Koalisi menganggap frasa tersebut besar kemungkinan bisa digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok oposisi penguasa. Sebab, tidak ada penjelasan rinci pada frasa tersebut.
Paham yang bertentangan dengan Pancasila tidak dijelaskan.
Penghinaan terhadap pemerintah dan lambang negara
Setelah RKUHP disahkan, pasal yang berpotensi sebagai pasal karet bertambah. Salah satunya, pasal yang mengatur penghinaan terhadap pemerintah dan lambang negara.
Isi RKUHP yang baru disahkan ini berpotensi menjadi pasal anti demokrasi. Sebab, tidak ada penjelasan rinci terkait kata penghinaan.
Pada draft RKUHP masih mengatur ancaman pidana bagi penghina lambang negara. Ketentuan tersebut merupakan delik aduan.
Sedangkan jika penghinaan tersebut menyebabkan kerusuhan bisa diperberat ancaman pidananya hingga 2 tahun.
Penghormatan pada badan peradilan
Selain itu, koalisi juga menganggap pasal penghormatan pada badan peradilan bermasalah. Sebab, tidak ada penjelasan mengenai penegakan hukum yang dimaksud.
Hidup bersama di luar perkawinan
RKUHP disahkan dan mengatur mengenai hidup bersama di luar perkawinan. Pemerintah dalam hal ini dinilai tak menyertakan penjelasan yang rinci.
Hidup bersama sebagai suami istri ini akan membuka celah persekusi dan pelanggaran ruang privat masyarakat.
UU ITE
Pasal-pasal karet dalam undang-undang ITE sepenuhnya dicabut dan tidak masuk dalam RKUHP. Sebab, jika tidak dicabut, maka akan terjadi tumpang tindih dalam UU ITE.
Larangan unjuk rasa
Koalisi mendesak agar pasal yang mengatur unjuk rasa bisa ditinjau kembali. Unjuk rasa harusnya tidak mendapatkan pengekangan persoalan perizinan, akan tetapi bisa diganti dengan pemberitahuan.
Pasal ini tuai kritikan karena pada praktiknya, polisi kerap mempersulit izin untuk melaksanakan demo.
Pelanggaran HAM berat
Koalisi menilai unsur non-retroaktif dalam pelanggaran HAM berat bisa dihilangkan dalam RKUHP disahkan kemarin oleh DPR.
Sebab, unsur tersebut akan membuat pelanggaran HAM berat di masa lalu dan masa kini tidak bisa diadili.
Kohabitasi
Pasal kohabitasi dalam RKUHP dinilai membuat korban pelecehan seksual bisa dianggap sebagai pelaku.
Meringankan ancaman bagi koruptor
RKUHP disahkan dianggap memberi ancaman pidana yang terlalu ringan untuk para koruptor. Ancaman hukuman tersebut tidak akan memberikan efek jera kepada para koruptor.
Sulit menghukum korporasi
Koalisi menganggap syarat dalam RKUHP membuat korporasi sulit dimintai pertanggung jawaban untuk tindak pidana tertentu.
Aturan tersebut akan lebih mudah membebankan tanggung jawab hanya pada pengurus korporasi. Rentan untuk mengkritik pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi.
Pengamat Sebut Upaya Pengesahan RKUHP Dipaksakan
Direktur Pusako, Feri Amsari menyebut pengesahan RKUHP menjadi undang-undang terkesan dipaksakan. Menurutnya, masih banyak penolakan yang terjadi adalah hal wajar.
Penolakan tersebut undang-undang tersebut dinilai sebagai upaya melindungi kepentingan penyelenggara pemerintah dan orang yang ada di sekitarnya.
Feri Amsari menganggap, sedari awal pemerintah berupaya memaksa undang-undang ini disahkan. Sifat penundaan menurutnya hanya basa-basi untuk meredam kemarahan publik.
Ia menuturkan, sebelum RKUHP disahkan terdapat banyak pasal yang harusnya bisa diperbaiki. Sebab, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Sebagai contoh, pasal yang dinilai mengancam kebebasan berekspresi atau kemerdekaan menyampaikan pendapat. Pasal tersebut bermasalah karena bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945.
Seharusnya UUD 1945 menjadi alat ukur setiap penyusunan undang-undang. Feri juga mengingatkan, semestinya UU berkaitan dengan pidana tidak digunakan untuk melindungi penyelenggara negara.
Seharusnya undang-undang tersebut digunakan untuk melindungi hak-hak konstitusional publik. Tindakan dari penyelenggara negara harusnya bisa melindungi warga negara.
Terutama melindungi dari sifat yang menyimpang dari kekuasaan penyelenggara negara tersebut. Konsep ini secara substansial sudah salah dalam memposisikan KUHP.
Pakar HTN Universitas Andalas tersebut mengatakan, polemik RKUHP bisa diselesaikan dengan menghapus beberapa pasal bermasalah.
Undang-undang tersebut juga telah mengabaikan standar atau nilai-nilai dasar yang ada di UUD 1945.
Hal ini terbukti setelah RKUHP disahkan masih banyak mendapatkan protes dari beberapa lapisan masyarakat.