Bisa dikatakan nama Bank BCA sangat tidak asing di telinga warga Indonesia. Salah satu bank terbesar tanah air ini dikenal dengan jaringannya yang luas dan produk beragam.
Bank Central Asia Tbk sendiri ternyata bukanlah sebuah bank pada awal pendiriannya. Dimulai dari bisnis biasa, kini telah menjelma menjadi bank dengan aset triliunan rupiah per tahun.
Artikel ini akan mengenalkan Anda pada Bank BCA lebih dalam. Mulai dari sejarah awal pendiriannya, nama-nama di balik kesuksesannya, hingga ragam produknya.
Mengenal Sejarah Bank BCA
Bank Central Asia memiliki sejarah panjang sejak didirikan hingga kini. Pasang surut bisnis seiring dinamisme ekonomi Indonesia turut mewarnai perjalanannya.
Sejak berdiri hingga sebelum krisis moneter 1997
Bank BCA berdiri pada tanggal 10 Agustus 1955 dengan nama awal NV Perseroan Dagang dan Industrie Semarang Knitting Factory. Pemilik awalnya adalah seorang pengusaha bernama Gunardi.
Benar, awalnya perusahaan ini adalah usaha tekstil di ibukota Jawa Tengah, Semarang. Perubahannya menjadi sebuah bank dimulai pada tanggal 12 Oktober 1956 dengan nama NV Bank Asia.
Pada tanggal 13 Februari 1957, namanya berubah lagi menjadi NV Bank Central Asia.
Perubahan terakhir terjadi pada 21 Februari 1957 dengan nama PT. Bank Central Asia. Tanggal ini pula yang dijadikan hari jadi Bank BCA.
Setelah dibeli oleh Liem Sioe Liong (Sudono Salim) dan Tan Lip Soin, kantor pusat bank pindah ke Jakarta.
Pada tanggal 21 Mei 1974 Sudono Salim mengubah nama perusahaan tersebut menjadi PT. Bank Central Asia.
Kepemilikan saham BCA sempat mampir ke keluarga Cendana. Siti Hardiyanti Rukmana dan Sigit Harjojudanto memiliki total 32 persen saham bank ini.
Hingga awal tahun 1970-an, BCA masih merupakan bank kecil dengan hanya memiliki dua kantor cabang. Asetnya pun hanya Rp998 juta dan statusnya adalah bank non devisa.
Perubahan nasib Bank BCA dimulai ketika bankir Mochtar Riady bergabung atas ajakan Sudono Salim pada tanggal 1 Mei 1975. Mochtar Riady lah yang memperbaiki sistem kerja dan pengarsipan bank tersebut.
Mochtar Riady kemudian memanfaatkan besarnya pertumbuhan bisnis Sudono Salim untuk pertumbuhan BCA. Dia juga melakukan ekspansi cabang dan penurunan suku bunga pinjaman.
Pada tanggal 30 Juni 1976, BCA melakukan merger dengan Bank Gemari milik Yayasan Kesejahteraan ABRI.
Merger ini mengantarkan BCA menjadi bank devisa. Merger berikutnya adalah dengan PT. Indo-Commercial Bank.
Di awal tahun 1979, Bank BCA mengajukan permohonan pada BI agar diperbolehkan mengeluarkan kartu kredit atas nama sendiri yang berlaku internasional.
Program ini bekerja sama dengan MasterCard dengan produk bernama ‘BCA Card’.
Inilah kartu kredit pertama di Indonesia. Sekaligus salah satu alasan BCA menjadi bank swasta terbesar di akhir 1970-an.
Bank BCA juga mengembangkan jaringan secara agresif, mengeluarkan berbagai produk, serta mengembangkan teknologi mereka.
Caranya dengan menerapkan sistem online dan komputerisasi untuk jaringan kantor cabang. Juga membangun ATM dan mengenalkan kartu ATM pada masyarakat di tahun 1987.
Aset BCA pada awal berdirinya yang hanya Rp998 juta menggelembung hingga Rp1 triliun pada tahun 1986. Status sebagai bank swasta terbesar pun tetap dipertahankan hingga kini.
Perkembangan tersebut belum berakhir. Pada tahun 1988 pemerintah meliberalisasi industri perbankan. BCA merespon kebijakan ini dengan baik dan cepat.
Tahun 1989, produk Tahapan BCA diluncurkan, dan tetap menjadi produk unggulan BCA hingga kini. Jumlah cabang melesat dari 50 ke 173 cabang di tahun 1989 dan bertambah lagi 148 cabang baru tahun 1990.
Di awal tahun 90-an pula BCA meluncurkan fitur pembayaran via bank untuk tagihan telepon. Program ini bekerja sama dengan PT. Telkom.
Sejak Desember 1990, Bank BCA sepenuhnya dimiliki oleh Salim Group (perusahaan keluarga Sudono Salim). Tepatnya setelah Mochtar Riady mengundurkan diri untuk mengembangkan Lippo Group miliknya.
Ditinggal Mochtar, BCA tetap melesat dengan menambah sejumlah kantor cabang di luar negeri. Seperti Hong Kong, New York, dan Singapura. Asetnya pada tahun 1997 mencapai Rp43,4 triliun.
Setelah krisis moneter 1997 hingga kini
Krisis moneter Asia pada tahun 1997 menghantam Bank BCA cukup telak.
Pada tanggal 14 November 1997, rumor palsu kematian Sudono Salim merebak. Mengakibatkan terjadinya bank rush hingga Rp500 miliar.
Salim Group sempat merencanakan konsolidasi dan merger dengan beberapa bank. Termasuk Bank Danamon yang sedang terguncang secara likuiditas. Tetapi semua rencana itu batal.
Puncaknya terjadi saat Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Citra BCA yang sangat lekat dengan Pak Harto ikut guncang.
Sekitar 122 cabang dan 150 ATM BCA dirusak dan dijarah pada kerusuhan Mei 1998. Kejadian ini menyebabkan Bank BCA mengalami kerugian hingga Rp3 miliar.
Bank rush kedua pun terjadi pada tanggal 18-21 Mei 1998. Sebanyak 12 persen simpanan BCA ditarik massal oleh nasabah, seiring ekonomi Indonesia yang morat-marit.
Pada tanggal 28 Mei 1998 BCA mencapai titik nadirnya dan berujung pada diambilalihnya bank ini oleh pemerintah sebagai Bank Take Over.
Pengambilalihan ini sempat diprotes oleh Salim Group karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk menyelamatkan perusahaan tersebut.
Pada Juni 1998, Keluarga Cendana pun menyerahkan seluruh saham mereka di BCA kepada pemerintah. Sehingga resmilah BCA di bawah kendali pemerintah.
Sebagai ganti manajemen Salim Group, pemerintah memasukkan para petinggi BRI dan BNI untuk mengelola BCA. Tindakan ini cukup efektif mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Pada Desember 1998, dana pihak ketiga dapat dikembalikan ke tingkat yang wajar dengan aset Rp67,9 triliun. Jumlah ini lebih tinggi dari posisi sebelum krisis yaitu Rp 53,4 triliun.
Permasalahan BCA dengan pemerintah belum berakhir. Pada peristiwa bank rush tahun 1998, BCA menyedot dana BLBI hingga Rp26,5 triliun. Ditambah dengan suntikan modal dari pemerintah dan denda lending limit ke perusahaan milik Salim Group.
Total semua utang BCA pada pemerintah Indonesia mencapai 5 miliar dollar AS.
Untuk membayarnya, Salim Group terpaksa menyerahkan 108 buah asetnya ke pemerintah dengan nilai Rp52,7 triliun.
Walaupun sempat menuai berbagai kontroversi dan dugaan penggelembungan harga aset, tanggal 11 Maret 2004 semua utang Salim Group lunas.
Pada periode ini pemerintah memegang 92,8 persen saham Bank BCA dan melakukan berbagai cara untuk menyehatkan bank ini.
Salah satunya dengan menggelontorkan Rp58 miliar dalam bentuk obligasi. Lalu tanggal 31 Mei 2000 pemerintah menjadikan BCA perusahaan terbuka di BEJ dengan melepas 22 persen sahamnya.
Pada tanggal 27 April 2000 segala upaya penyehatan kembali Bank BCA membuahkan hasil. BCA dikembalikan ke tangan Bank Indonesia sebagai bank swasta pertama yang sehat.
Pada akhir 2001, IMF mendesak pemerintah untuk melepas kepemilikan sahamnya dari 60 persen menjadi 20 persen. Setelah beberapa polemik, akhirnya disepakati 51 persen saham BCA akan didivestasi kepada swasta.
BPPN kemudian membuka tender untuk penjualan saham BCA yang berhasil menjaring dua calon pembeli. Yaitu Standard Chartered (Inggris) dan Farallon Capital (AS).
Farallon Capital membentuk Farindo Investment (Mauritius) Ltd pada tanggal 15 Maret 2002. Konsorsium bentukan Farallon inilah yang berhasil memenangkan tender resmi dengan harga pembelian Rp5,3 triliun.
Salah satu raja kretek Indonesia, Djarum, tergabung ke dalam Farindo Ltd melalui Alaerka Investment Ltd sebesar 10 persen. Sehingga Djarum pun menjadi salah satu pemilik BCA.
Bagaimanapun, penjualan saham ini tak lepas dari kontroversi. Termasuk penolakan dari Kwik Kian Gie, salah satu menteri saat itu.
Terutama karena aset, keuntungan dan obligasi BCA jauh lebih tinggi dari Rp5,3 triliun.
Pasca divestasi ini, BCA resmi dimiliki oleh Farindo Investment, perusahaan patungan Djarum dan Farallon. Keluarga Hartono (pemilik Djarum) pun meningkatkan kepemilikan mereka atas bank ini.
Di awal, keikutsertaan Djarum hanya 5 persen. Lalu di tahun 2007 Djarum membeli 92,18 persen saham Farallon di Farindo Investment, dan resmilah mereka menjadi pengendali,
Djarum lalu menjual dua banknya, Bank Haga dan Bank Hagakita ke Rabobank. Pada tahun 2020, Rabobank menjual bisnisnya pada BCA yang telah dimiliki Djarum melalui Farindo tadi.
Belakangan, saham Farindo dialihkan ke PT. Dwimuria Investama Andalan.
Perusahaan ini juga milik keluarga Hartono. Sejak April 2017, saham PT. Dwimuria di BCA naik menjadi 54,94 persen. Sehingga dapat dikatakan pemilik BCA saat ini adalah Djarum Group melalui PT. Dwimuria.
Pada Desember 2021, Bank BCA masih mempertahankan gelar sebagai salah satu bank terbesar di Indonesia. Asetnya sejumlah Rp1,22 triliun.
Kapitalisasi pasar BCA pada Maret 2022 mencapai Rp1.000 triliun, angka terbesar di BEI. Bank BCA juga merupakan bank dengan kapitalisasi terbesar di Asia Tenggara dengan harga saham Rp30.000/lembar di tahun 2019.
PT. Bank Central Asia juga telah menjadi perusahaan induk dengan beberapa anak perusahaan. Diantaranya BCA Finance, BCA Syariah, BCA Life, dll.
Catatan terakhir pada triwulan pertama 2022, BCA memiliki 1.241 kantor cabang dan 18.050 ATM di seluruh Indonesia. Bank BCA juga memiliki 29 juta rekening tabungan.
Alamat Kantor Pusat Bank BCA
Sejak tahun 1987-2008, kantor pusat BCA adalah di Wisma BCA, Jl. Jenderal Sudirman Jakarta. Namun sejak 1 September 2008, Bank BCA berkantor pusat di Menara BCA, Jl. M.H. Thamrin Jakarta.
Para Petinggi Bank BCA
Setelah sejarah panjang hingga BCA berkembang seperti sekarang, berikut adalah para petinggi Bank BCA. Yaitu para pemegang saham, Dewan Direksi dan Dewan Komisaris.
Pemegang saham
Berbicara tentang kepemilikan, dinamisasi perusahaan besar seperti BCA menjadikan pemegang sahamnya dapat berubah-ubah. Namun, catatan per 31 Oktober 2022 pemegang saham BCA adalah:
PT. Dwimuria Investama Andalan dengan jumlah saham 13.546 lembar (54,94 persen). Dari jumlah itu, 51 persen adalah milik Robert Hartono dan 49 persen milik Bambang Hartono. Keduanya adalah pemegang saham dan pengendali kekuasaan di BCA.
Pemegang saham lainnya sejumlah 3.198 lembar (45,06 persen). Dari jumlah itu, Dewan Komisaris dan Direksi memiliki 1,95 persen saham BCA dan sisanya dimiliki pihak yang terafiliasi dengan PT. Dwimuria.
Dewan Direksi dan Dewan Komisaris
Adapun Dewan Komisaris Bank BCA adalah:
- Presiden komisaris: Djohan Emir Setijoso
- Komisaris: Tonny Kusnadi, Cyrillus Harinowo, Raden Pardede, Sumantri Slamet.
Sedangkan Dewan Direksi Bank BCA adalah:
- Presiden Direktur: Jahja Setiaatmadja
- Wakil Presiden Direktur: Armand Wahyudi Hartono dan Gregory Hendra Lembong
- Direktur:
- Subur Tan
- Rudy Susanto
- Lianawaty Suwono
- Santoso
- Vera Eve Lim
- Haryanto Tiara Budiman
- Frengky Chandra Kusuma
- John Kosasih
- Antonius Widodo Mulyono
Produk Bank BCA
Sebagai salah satu bank swasta terbesar di tanah air, Bank BCA memiliki serangkaian produk yang cukup lengkap. Mulai dari produk untuk nasabah individu hingga bisnis.
Beberapa di antaranya adalah produk yang sejak beberapa dekade telah menjadi andalan bank ini, seperti Tahapan atau Tabungan Hari Depan. Berikut adalah produk Bank BCA selengkapnya.
Produk Individu
Produk individu ditujukan bagi nasabah perorangan. Seperti halnya bank lain, nasabah Bank BCA disyaratkan telah memiliki KTP tersendiri. Kecuali untuk produk tabungan pelajar dan anak yang memakai KTP orang tua nasabah.
Simpanan Individu
Bank BCA memiliki sembilan jenis simpanan individu, yaitu:
Tahapan
Singkatan dari Tabungan Hari Depan. Salah satu produk BCA yang paling banyak dipilih nasabah.
Tahapan xpresi
Tabungan dengan biaya administrasi rendah, cocok untuk anak muda yang dinamis.
Tahapan berjangka
Tabungan dengan waktu penarikan tertentu.
Simpanan pelajar
Tabungan untuk anak dan remaja di usia sekolah.
Tapres
Tabungan dengan penawaran bunga lebih tinggi dibandingkan produk sejenis.
TabunganKu
Tabungan untuk anak dengan supervisi orang tua.
BCA dollar
Dengan produk ini, nasabah dapat menabung sekaligus berinvestasi.
Deposito berjangka BCA
Sama seperti BCA Dollar, deposito berjangka BCA juga ditujukan untuk investasi.
E-deposito
Fasilitas yang disediakan Bank BCA bagi nasabah mereka yang ingin mencairkan dana deposito secara online
Pinjaman individual
BCA memiliki empat jenis pinjaman untuk calon debitur individual. Sifatnya adalah pinjaman konsumtif. Berikut adalah keempat produk pinjaman tersebut.
- Kredit sepeda motor
- Kredit kendaraan bermotor
- Kredit pemilikan rumah
- Pinjaman personal
Wealth management
Wealth management pada Bank BCA dimaksudkan untuk membantu nasabah mengelola aset mereka. Wealth management juga termasuk cara mencadangkan aset untuk kebutuhan tidak terduga di masa depan. Produk BCA untuk lini ini adalah:
- Asuransi
- Reksa dana
- Obligasi
- Rekening dana nasabah
E-money
Produk e-money BCA memiliki puluhan merchant dan bekerja sama dengan sejumlah vendor terkemuka. Baik di dalam maupun luar negeri. Dua produk e-money BCA adalah:
- Flazz
- Sakuku
Kartu kredit
Ada tiga varian kartu kredit BCA yang dapat dipilih nasabah sesuai kebutuhannya, yaitu:
- BCA Everyday Card
- BCA Card Platinum
- BCA Smartcash
Produk Bisnis
Produk bisnis ditujukan bagi nasabah perusahaan, dari skala kecil hingga besar. BCA memiliki produk simpanan, pinjaman, dan penerimaan bisnis pada lini ini. Berikut penjabarannya.
Simpanan bisnis
Simpanan bisnis memiliki fitur tambahan yang akan memudahkan nasabah mengelola dan mengatur keuangan usaha. Tersedia dalam mata uang rupiah dan dollar, produk ini berupa:
- BCA Dollar
- Deposito berjangka
- Giro
- Tahapan Gold
Penerimaan bisnis
BCA juga memfasilitasi nasabahnya dengan produk penerimaan bisnis, agar lebih mudah memanajemen pendapatan usaha mereka.
BCA memiliki keunggulan pada jaringannya yang luas. Sehingga dengan menjadi merchant atau memakai produk penerimaan bisnis, usaha nasabah akan lebih mudah menjaring pelanggan.
Produk penerimaan bisnis besutan BCA adalah:
- Merchant BCA
- QRIS Bisnis
- EDC BCA
- Payment link
Pinjaman Bisnis
Kredit adalah salah satu sumber pemasukan modal bagi sebagian pengusaha. BCA pun juga menyediakan pinjaman bisnis. Baik untuk UMKM maupun usaha besar yang telah menggurita.
Produk-produk tersebut adalah:
Kredit Usaha
Pinjaman modal kerja untuk kemudahan usaha. Bisnis skala menengah hingga besar dapat menjadi debitur di produk ini.
Kredit Investasi
Pinjaman untuk pembiayaan aktiva tetap. Sesuai namanya, tujuan kredit ini untuk menambah side income perusahaan dari investasi dan aktiva, bukan sebagai penunjang modal.
Kredit Multiguna Usaha
Pinjaman untuk berbagai kebutuhan bisnis. BCA memberikan kemudahan dalam kredit ini, baik untuk usaha kecil maupun besar.
Kredit Usaha Rakyat
Kredit modal usaha bagi calon debitur yang tidak memiliki agunan yang cukup. KUR merupakan hasil dari program pemerintah yang ingin dunia perbankan lebih mendorong perkembangan UMKM.
Rahasia Sukses Bank BCA
Sebagai bank yang telah berdiri selama lebih dari enam puluh delapan tahun, tentu ada rahasia di balik perjalanan Bank BCA.
Walaupun diwarnai kisruh dan sentimen negatif seperti kasus BLBI, nyatanya BCA tetap bisa menorehkan prestasi. Seperti:
- Menjadi salah satu dari Indonesia Top 40 Bank Economics tahun 2021.
- Indonesia Most Acclaimed Company 2022 dalam kategori Outstanding Business Ecosystem Through Banking Digitization.
Lantas, apa rahasia BCA tetap berdiri bahkan bisa mempertahankan gelar sebagai bank swasta terbesar Indonesia? Berikut adalah beberapa di antaranya.
Inovasi
Tidak bisa dipungkiri, BCA adalah salah satu bank dengan inovasi paling banyak. Saat bank-bank lain baru berkutat dengan menurunkan suku bunga, BCA sudah melakukan banyak inovasi.
BCA adalah bank pertama yang menyediakan fitur pembayaran tagihan via bank. Yaitu pembayaran tagihan telepon Telkom dan kartu kredit Citibank.
BCA juga bank pertama yang mengeluarkan kartu kredit di Indonesia, serta menjalin kerja sama dengan merchant luar negeri.
BCA juga bank pertama yang menyediakan fitur digital banking dan e-banking. Kemudahan pembukaan rekening secara online misalnya, adalah inovasi cerdas mereka.
Kepemimpinan yang solid
Para pemimpin BCA adalah para pebisnis bertangan dingin yang solid dalam memimpin. Walaupun Sudono Salim sering digosipkan miring bisa sukses karena dekat dengan keluarga Cendana.
Lepas dari Salim Group, kini BCA juga dijalankan oleh keluarga Hartono yang tak kalah mumpuni. Para direktur BCA juga adalah banker yang berkualitas.
Setiap pemimpin di BCA juga harus menguasai PDCA (Plan, Do, Check, Act). Artinya pimpinan harus bisa merencanakan strategi bisnis perbankan, menjalankannya, mengorganisir evaluasi, dan menjalankan kembali rencana setelah dievaluasi.
Presiden Direktur Jahja Setiaatmadja dan Direktur Subur Tan adalah dua banker BCA yang pernah diganjar Top 100 Bankers versi Majalah Infobank tahun 2017.
Solidnya kepemimpinan BCA menjadikan perusahaan ini tidak kehilangan kompas walau sempat didera resesi, bank rush, serta berbagai masalah lainnya.
Jejaring
Sudono Salim adalah orang yang pintar memilih jejaring. Dengan kedekatannya pada keluarga Cendana, BCA dapat berkembang lebih cepat.
Mochtar Riady, yang memimpin BCA di awal-awal debutnya pun memanfaatkan jejaring bisnis Salim Group dengan baik untuk menambah nasabah BCA.
BCA juga membidik pasar luar negeri dengan menggandeng MasterCard, juga mendirikan cabang di negara-negara yang banyak berinteraksi dagang dengan Indonesia.
BCA juga membuka diri dan memberi kesempatan pada bisnis lain untuk belajar dari perspektif mereka. Kedekatan dengan mitra bisnis, nasabah, serta perusahaan di lingkungan industri perbankan menjadi senjata mendapatkan feedback positif.
Memanfaatkan peluang
Di awal tahun 2000-an, perusahaan fintech mulai menjamur. Masyarakat mendapat cara alternatif bertransaksi secara digital tanpa harus melalui bank.
Bagi sebagian banker, hal ini meresahkan. Tetapi BCA memanfaatkan peluang itu dengan meluncurkan Flazz, juga merenovasi sebagian fiturnya agar dapat diakses secara digital.
BCA juga bekerja sama dengan sebagian fintech untuk menjalankan transaksinya via program BCA. Dengan jejaring yang luas tadi, BCA tidak kesulitan menggandeng partner.
Pintarnya BCA memanfaatkan peluang dan perkembangan zaman ini menjadikannya bisa bertahan walau zaman bergeser ke era digital.
Luwes menghadapi kondisi
Menurut Jahja Setiaatmadja, bank harus menyesuaikan kecepatan lajunya dengan kondisi ekonomi yang ada.
Terutama bank di negara berkembang dengan inflasi yang tinggi dan naik turun, seperti Indonesia.
Bank sebaiknya selalu mempertahankan kualitas kredit. Jika kondisi ekonomi tidak memungkinkan, tidak perlu memaksakan penyaluran kredit.
Sebaliknya, optimalkan produk lain yang sesuai dengan kondisi saat itu. Sehingga pemasukan dari setiap segmen seimbang.
Trik ini terbukti ampuh mengawal BCA melintasi perubahan perekonomian Indonesia yang dinamis dan sempat jatuh hingga ke titik terbawah.
Digitalisasi perbankan
BCA ternyata selalu menjadikan teknologi dan fitur digital sebagai ujung tombak inovasinya.
Dimulai dengan peluncuran kartu kredit pertama di Indonesia, ATM pertama, fitur e-banking dan m-banking pertama, dll.
Bank BCA selalu siap bertransformasi menanggapi perkembangan teknologi yang pesat.
Perkembangan teknologi, walaupun datang dari pesaing, akan dijadikan wadah untuk belajar mengembangakn produk perbankan digital.
Fokus pada kebutuhan nasabah
Trik terakhir adalah strategi marketing yang fokus pada kebutuhan nasabah, pemegang saham, serta mitra bisnis mereka.
Hal ini adalah rahasia mereka dalam menciptakan produk perbankan yang ‘ngena’ dan tepat.
Fokus pada kebutuhan pemegang saham juga membuat BCA lebih terbuka dalam menjalankan bisnis dan inovatif.
Sebagai perusahaan terbuka, BCA berusaha menjadi bisnis yang terpercaya. Efeknya, nilai saham BCA terus meningkat.
Memperlakukan karyawan sebagai keluarga besar dan aset berharga
Di BCA, karyawan ternyata selalu didorong untuk memberikan input dan masukan bagi perusahaan. Walaupun ide tersebut di luar job descriptionnya, setiap inovasi akan tetap ditampung.
Salah satu program yang dijalankan perusahaan adalah BIA (BCA Innovation Award) dan BIC (BCA Innovation Convention). Dalam acara ini, semua karyawan bisa mengikuti dan menyalurkan ide kreatif mereka.
BIA dan BIC menjadi ajang mendapatkan berbagai masukan positif agar operasional perusahaan berjalan lebih baik. Karyawan juga merasa dihargai karena masukan mereka tidak dimentahkan.
PT. Bank Central Asia awalnya bukan sebuah bank. Berdiri di tahun 1955, perusahaan ini adalah usaha garmen yang berpangsa pasar di sekitar Jawa Tengah, dengan pusat usaha di Semarang.
Setelah melewati berbagai perubahan, merger dan akuisisi, BCA dapat berdiri sebagai bank swasta yang paling kuat. Puncak kejayaannya tercapai di pertengahan tahun 1970-an.
Saat itu BCA berhasil meraih laba dan omset tinggi hingga hitungan triliun. Tahun delapan puluhan hingga awal sembilan puluhan kiprah BCA pun semakin berkibar.
Dimulai dengan menggandeng MasterCard sebagai mitra, membangun cabang di beberapa kota besar dunia, hingga berinovasi pada produk digital perbankan.
Pamor BCA merosot habis pada tahun 1997-1998. Disusul resesi ekonomi dan lengsernya Presiden Soeharto.
Setelah itu BCA harus menerima kenyataan kondisinya tidak stabil setelah beberapa kali terkena bank rush.
Pemerintah berusaha menyehatkan kembali BCA. Beberapa kebijakan menuai protes dan kontroversi. Seperti kasus dana BLBI dan proses divestasi yang memicu protes dan penolakan lantaran harga saham yang ditetapkan dianggap terlalu murah.
Setelah dimiliki oleh Salim Group, lalu berpindah ke tangan pemerintah, BCA kini dimiliki oleh Djarum.
Grup kretek yang digawangi Hartono bersaudara ini mendapatkan BCA dari tender divestasi melalui perusahaan investasi mereka. Yaitu Alaerka Investment yang merupakan bagian dari Farindo Ltd, pemenang tender.
Hingga kini Bank BCA masih mencatatkan diri sebagai bank swasta terbesar di tanah air. Bahkan mendapatkan gelar Indonesian Most Acclaimed Company tahun 2022.