Di tengah arus digital yang semakin kencang, kasus eksploitasi seksual anak online mengalami peningkatan. Sejak tahun 2019 hingga Juni 2021 telah terjadi 286 kasus.
Tindakan eksploitasi seksual anak online memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi. Salah satu tindakannya, yaitu menampilkan kekerasan seksual terhadap anak.
Mengetahui semua bentuk yang termasuk kejahatan terhadap anak ini akan membantu menekan terjadinya kasus serupa.
Apa Itu Eksploitasi Seksual Anak Online?
Eksploitasi seksual terhadap anak secara online merupakan tindakan kriminal yang dilakukan pelaku dengan memanfaatkan internet untuk memfasilitasi pelecehan.
Perkembangan teknologi tidak hanya menghadirkan dampak positif bagi tumbuh kembang anak, namun juga ada risiko yang harus diwaspadai.
Fenomena booking online hanyalah satu dari sekian modus kejahatan seksual terhadap anak. Baik anak maupun orang tua perlu memahami agar bisa menghindari modus kejahatan ini.
Modus Kasus Eksploitasi Seksual Anak
Berikut ini beberapa modus kasus eksploitasi seksual anak yang patut diwaspadai, antara lain:
Child grooming
Modus kejahatan pertama yaitu child grooming yang diartikan sebagai suatu tindakan membujuk anak dengan tujuan mengeksploitasi secara seksual.
Pada kasus child grooming ini dilakukan secara bertahap, mulai menyeleksi calon korban. Pelaku akan memilih korban dengan memeprtimbangkan beberapa faktor, seperti:
- Daya tarik korban yang ditentukan oleh hasrat dari pelaku sendiri.
- Kemudahan akses sosial ke media sosial calon korban. Misalnya pengaturan privasi pada status, platform atau aplikasi yang digunakan korban belum terpasang.
- Kerentanan korban atas kasus eksploitasi anak di media sosial. Misalnya korban memposting kondisi sedang tinggal sendiri di rumah atau tak bahagia secara psikologis.
Setelah menemukan target korban, pelaku akan mencoba berbagai cara agar bisa menghubungi korban. Ketika sudah berhasil, pelaku akan membangun hubungan pertemanan dengan korban.
Pelaku berusaha menciptakan suasana yang nyaman untuk para korbannya. Sehingga akhirnya, korban merasa terikat secara emosional dengan pelaku yang mungkin memiliki hubungan romantis.
Saat itulah, pelaku eksploitasi seksual anak online akan melakukan kejahatannya.
Child sexual abuse
Modus selanjutnya berkaitan dengan produksi child sexual abuse atau CSA oleh pelaku yang dikaitkan dengan pornografi anak.
Pada dasarnya, pornografi anak melibatkan anak dalam aktivitas seksual secara eksplisit baik itu secara nyata maupun menunjukkan bagian-bagian seksual anak.
Kemudian, pelaku akan memproduksi, lalu menyebarluaskan child sexual abuse melalui email, SMS, chat messenger, platform media sosial dan lainnya.
Tak jarang pelaku membagikan child sexual abuse melalui DarkNet atau Deep Web. Materi yang lebih ekstrim berkaitan CSA seringkali sulit dilacak maupun di take down.
Selain kegiatan sexting, pelaku akan menempatkan anak para risiko eksploitasi seksual anak online yang lebih tinggi.
Penerima pesan maupun gambar yang tidak bertanggung jawab bisa berubah menjadi pelaku kejahatan ini karena menyebarkan pesan atau gambar tersebut.
Live streaming of child sexual abuse
Tindakan live streaming terhadap kekerasan seksual pada anak di media sosial akan disaksikan banyak orang.
Tindakan pelecehan seksual terhadap anak bisa terjadi pada chat rooms online, platform sosial media maupun aplikasi untuk berkomunikasi.
Sextortion
Sedangkan modus sextortion diartikan sebagai tindakan pemerasan seksual. Pelaku melakukan paksaan atau pemerasan untuk memproduksi materi seksual yang melibatkan si anak.
Tujuan pemerasan itu untuk keuntungan pribadi dari pelaku eksploitasi seksual anak online.
Sexting
Sedangkan modus terakhir yaitu aktivitas online di chat room dengan berkirim pesan teks, foto maupun video mesum.
Tujuannya untuk pemuasan seksual kepada anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat terjadi 35 kasus eksploitasi seksual, perdagangan dan pekerja anak selama Januari hingga April 2021.
60 persen diantaranya dilakukan secara online. Sebanyak 41 persen kasus eksploitasi dan pekerja anak menggunakan aplikasi MiChat.
Sedangkan WhatsApp dan Facebook memiliki persentase masing-masing 21 persen dan 17 persen. Data tersebut menunjukkan semakin rawan penggunaan media sosial yang dimanfaatkan pelaku.
Cara Mencegah Eksploitasi Seksual Anak Online
Berikut ini beberapa cara yang akan membantu mencegah eksploitasi seksual anak online, antara lain:
- Mulai membangun komunikasi yang sehat dengan anak.
- Mendengarkan cerita anak meskipun terkadang terdengar membosankan.
- Saat anak menceritakan pengalamannya berinteraksi secara online dengan orang asing. Ajaklah anak untuk berdiskusi agar bisa terhindar menjadi korban eksploitasi seksual.
- Mengajari anak untuk menjaga serta melindungi tubuh sejak dini.
- Beri pengertian kepada anak bahwa orang lain tidak boleh menyentuh bagian pribadinya. Seperti, dada, alat kelamin, paha, pantat dan bagian tubuh sensitif lainnya.
- Ajarkan anak untuk menolak ajakan bertemu orang yang baru dikenalnya.
- Anda bisa mengajarkan anak berkata “tidak” pada orang asing dan orang yang sudah dikenal, ketika meminta untuk mempertunjukkan bagian tubuh.
Sudahkah Hukum Indonesia Melindungi Anak dari Eksploitasi Seksual?
Kontribusi apa saja yang telah diberikan oleh hukum Indonesia untuk melindungi eksploitasi seksual anak online?
Undang-undang yang digunakan untuk menjerat
Gunakan 3 undang-undang untuk menjerat pelaku tindak pidana eksploitasi seksual anak.
Undang-undang perlindungan anak
Pasal 761 juncto pasal 88 undang-undang Perlindungan Anak akan mengancam pelaku eksploitasi seksual anak dengan pidana penjara maksimal 10 tahun.
Sedangkan untuk denda terhadap pelaku eksploitasi seksual anak maksimal Rp200 juta. Namun, pasal tersebut belum mengakomodir tindakan eksploitasi seksual anak online.
UU ITE
Ketika undang-undang perlindungan anak tidak bisa mengakomodir untuk menjerat pelaku eksploitasi seksual anak, maka pasal dalam UU ITE bisa digunakan.
Pasal 27 ayat 1 undang-undang ITE dibuat untuk menjerat pelaku kejahatan yang menggunakan sarana teknologi komunikasi dan informatika.
Undang-undang pornografi
Begitu juga dengan undang-undang pornografi dan beberapa pasal yang dirancang khusus untuk melindungi anak dari eksploitasi seksual.
Misalnya, pasal 34 UU pornografi yang bisa Anda gunakan untuk mengancam pelaku yang menjadikan anak sebagai objek pornografi.
Maksimal kurungan penjara 10 tahun dan denda sebanyak Rp5 miliar akan mengancam para pelaku.
Aturan perundang-undangan tersebut bisa digunakan untuk melawan pelaku eksploitasi seksual anak online.
Permasalahan yang perlu dibenahi
Perlindungan atas kejahatan eksploitasi seksual anak ini belum maksimal. Setidaknya ada 3 permasalahan yang perlu adanya pembenahan, antara lain:
Frasa pelanggaran kesusilaan bisa jadi bumerang bagi korban
Bunyi pasal 27 ayat 1 UU ITE sejak awal tidak jelas batasannya. Merujuk pada isi pasal ini, maka dinilai tidak memihak pada korban.
Muatan melanggar kesusilaan tidak dijelaskan secara lebih terperinci. Tidak adanya batasan melanggar kesusilaan yang seperti apa menjadi poin utama.
Frasa mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diakses tidak ada batasan yang jelas. Pasal 27 ayat 1 dianggap berbahaya jika diterapkan pada kasus eksploitasi seksual anak.
Batas waktu penuntutan
Pelaku kejahatan terhadap anak tidak bisa dituntut jika anak mencapai usia dewasa. Hal ini dinilai tidak memberikan jaminan keadilan untuk korban anak.
Aturan ini ada pada pasal 78 ayat 1 KUHP yang mengatur batasan waktu suatu tindak pidana tidak bisa dituntut lagi.
Pemenuhan keadilan bagi korban anak terhalangi oleh batas waktu penuntutan.
Peningkatan kasus eksploitasi seksual anak online menjadi peringatan untuk para orang tua. Cara pencegahan dan perangkat hukum untuk menjerat pelaku sangat penting untuk dipahami.