Penggunaan Kalender Jawa di era modern memiliki alasan khusus, selain untuk melestarikan budaya.
Keyakinan budaya Jawa menganggap bahwa weton dapat mempengaruhi kesuksesan acara penting seperti pernikahan, pembukaan usaha, dan lainnya.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika masyarakat Jawa sering menggunakan Kalender Jawa untuk menentukan tanggal acara penting mereka.
Namun, perlu diketahui bahwa selain Aksara Jawa, ada sistem penanggalan yang dikembangkan oleh masyarakat Jawa.
Sebagian masyarakat Indonesia, khususnya orang Jawa, masih mempertahankan penggunaan penanggalan Jawa hingga saat ini.
Apa Itu Kalender Jawa?
Kalender Jawa adalah sebuah sistem penanggalan yang telah digunakan oleh berbagai kerajaan, termasuk Kesultanan Raja Mataram, dalam sejarahnya.
Sistem penanggalan ini memiliki keunikan tersendiri yang mencerminkan filosofi orang Jawa.
Penanggalan Jawa menggabungkan unsur-unsur dari penanggalan Islam, Hindu, dan Julian, yang merupakan penanggalan budaya Barat.
Melalui penanggalan ini, masyarakat Jawa memandang perputaran kehidupan manusia sebagai bagian dari anugerah yang diberikan oleh Allah Swt, sang pencipta Jagat Raya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kalender Jawa tetap menjadi salah satu sistem penanggalan yang dipercayai oleh masyarakat Jawa hingga saat ini.
Umumnya, kalender ini digunakan untuk menentukan tanggal-tanggal penting seperti hari pernikahan, perwatakan, dan peruntungan.
Sama seperti kalender Masehi, kalender Jawa juga terdiri dari 12 bulan dalam setahun. Namun, penamaan hari, bulan, dan tahun dalam kalender Jawa berbeda dengan kalender Masehi.
Pada tahun 2023 ini, kita berada di tahun ke-1956 dalam kalender Jawa. Ki Totok Yasmiran menjelaskan beberapa istilah yang sering digunakan dalam kalender Jawa lengkap beserta perhitungannya.
Ini meliputi hitungan pasaran atau lima harian, paringkelan atau enam harian, dan padinan atau tujuh harian.
“Ketika ketiga konsep ini digabungkan, mereka membentuk hitungan wuku yang memiliki siklus 210 hari,” kata Totok dalam sebuah wawancara.
Saptawara atau padinan adalah konsep dalam kalender Jawa yang terdiri dari tujuh hari, sesuai dengan siklus mingguan dalam kalender Masehi.
Kalender Jawa adalah warisan budaya yang berharga bagi masyarakat Jawa, mencerminkan kekayaan filosofi dan cara pandang mereka terhadap waktu dan kehidupan.
Sistem penanggalan ini tetap memainkan peran penting dalam menjaga tradisi dan budaya Jawa yang kaya dan beragam.
Sejarah Kalender Jawa
Sistem penanggalan yang digunakan secara resmi oleh Kesultanan Mataram dan beberapa kerajaan pecahan yang dipengaruhinya.
Awalnya mencakup dua jenis penanggalan: kalender Masehi dan kalender Jawa. Kalender Masehi digunakan untuk mengkoordinasikan urusan administrasi kerajaan dengan kegiatan sehari-hari masyarakat umum.
Sementara kalender Jawa 2023 menjadi acuan untuk penyelenggaraan upacara adat kerajaan.
Penanggalan Jawa, sering disebut sebagai Kalender Sultan Agungan, pertama kali diperkenalkan selama masa pemerintahan Sultan Agung (1613–1645), yang merupakan raja ketiga Kesultanan Mataram.
Pada waktu itu, masyarakat Jawa mengadopsi Kalender Saka dari India sebagai patokan mereka. Kalender Saka berdasarkan pergerakan matahari (solar).
Berbeda dengan Kalender Hijriah atau Kalender Islam yang mengikuti pergerakan bulan.
Karena perbedaan ini, perayaan adat kerajaan tidak bersesuaian dengan hari-hari besar Islam.
Sultan Agung berkeinginan untuk menyelaraskan perayaan-perayaan tersebut. Untuk mencapai tujuan ini, dia menciptakan sistem penanggalan baru yang menggabungkan unsur-unsur Kalender Saka dan Kalender Hijriah.
Inilah yang kemudian dikenal sebagai Kalender Jawa atau Kalender Sultan Agungan.
Kalender ini mempertahankan tahun Saka tetapi menggantikan metode perhitungan lama dengan perhitungan berdasarkan pergerakan bulan.
Transisi ini tidak mengganggu tatanan lama, sehingga tidak menimbulkan kekacauan bagi masyarakat maupun catatan sejarah.
Keistimewaan sistem penanggalan ini terletak pada penggabungan berbagai sistem penanggalan, termasuk Islam, Hindu, dan sedikit dari Julian yang berasal dari budaya Barat.
Dengan demikian, Kelahiran Kalender Jawa merupakan kolaborasi unik dari berbagai penanggalan.
Dekret Sultan Agung berlaku di seluruh wilayah Kesultanan Mataram, termasuk seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali Banten, Batavia, dan Blambangan (Banyuwangi), yang bukan bagian dari kekuasaannya.
Pulau Bali dan Palembang, yang juga dipengaruhi oleh budaya Jawa, tidak mengadopsi kalender ciptaan Sultan Agung.
Sistem penanggalan ini juga dikenal sebagai penanggalan Jawa Candrasangkala, yang berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi.
Meskipun menggunakan prinsip dasar Kalender Hijriah, ada perbedaan signifikan dalam penentuan pergantian hari dan bulan antara Kalender Jawa online dan Kalender Hijriah.
Mengenal Siklus Penanggalan Jawa
Pada dasarnya ada beberapa siklus dalam penanggalan jawa, antara lain
Siklus Hari Pasaran dalam Penanggalan Jawa
Orang Jawa pada masa pra-Islam mengenal pekan yang lebih beragam daripada sistem tujuh hari yang umumnya diterima saat ini.
Mereka memiliki rentang pekan yang berlangsung dari 2 hingga 10 hari, yang dikenal sebagai dwiwara, triwara, caturwara, pañcawara (pancawara), sadwara, saptawara, astawara, dan sangawara.
Dari berbagai siklus ini, saptawara (siklus tujuh hari) dan pancawara (siklus lima hari) masih umum digunakan, sementara yang lainnya tetap relevan di Pulau Bali dan di Tengger.
Saptawara atau padinan adalah siklus tujuh hari yang terkait erat dengan pergerakan bulan terhadap bumi.
Siklus ini mencakup hari-hari Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu dalam kalender Masehi.
Nama-nama hari ini terkait dengan gerakan bulan terhadap bumi, seperti Radite yang melambangkan meneng (diam), Soma yang melambangkan maju.
Hanggara yang melambangkan mundur, Buda yang melambangkan bergerak ke kiri, Respati yang melambangkan bergerak ke kanan.
Sukra yang melambangkan naik ke atas, dan Tumpak yang melambangkan bergerak turun.
Pancawara, juga dikenal sebagai pasaran di Kalender Jawa, terdiri dari lima hari, yaitu Kliwon (Kasih), Legi (Manis), Pahing (Jenar), Pon (Palguna), dan Wage (Cemengan).
Dulu, para pedagang menggunakan pancawara untuk menentukan hari pembukaan pasar sesuai dengan hari pasaran yang berlaku.
Inilah yang memberikan nama-nama pasar seperti Pasar Kliwon, Pasar Legi, Pasar Pahing, Pasar Pon, dan Pasar Wage.
Hari-hari pasaran memiliki posisi patrap (sikap) yang unik yang mencerminkan karakteristik bulan, seperti Kliwon yang melambangkan berdiri, Legi yang melambangkan berbalik arah ke belakang.
Pahing dalam kalender Jawa melambangkan menghadap, Pon yang melambangkan tidur, dan Wage yang melambangkan duduk.
Selain pancawara dan saptawara, ada juga siklus enam hari yang disebut sadwara atau paringkelan.
Meskipun kadang-kadang masih digunakan dalam pencatatan waktu, paringkelan tidak digunakan untuk menghitung waktu pelaksanaan upacara adat di keraton.
Siklus dalam kalender Jawa ini terdiri atas Tungle, Aryang, Warungkung, Paningron, Uwas, dan Mawulu.
Sistem penanggalan Jawa yang kaya ini mencerminkan hubungan yang erat antara pergerakan bumi, bulan, dan budaya Jawa yang kaya.
Meskipun sebagian besar orang Jawa saat ini mungkin lebih mengikuti sistem penanggalan Gregorian, tradisi penanggalan Jawa tetap memegang tempat istimewa dalam budaya dan ritual mereka.
Sikulus bulan dalam penanggalan Jawa
Dalam Kalender Jawa, seperti penanggalan lainnya, terdapat 12 bulan yang memiliki nama yang berasal dari bahasa Arab yang disesuaikan dengan bahasa Jawa.
Bulan-bulan ini adalah Sura, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, dan Besar.
Durasi masing-masing bulan dalam penanggalan Jawa bervariasi antara 30 dan 29 hari, mengikuti siklus lunar.
Pada penanggalan Jawa, nama-nama bulan juga mencerminkan pengaruh agama Islam dan budaya Jawa. Beberapa nama bulan diambil dari Kalender Hijriah dan menggunakan nama-nama Arab.
Namun, ada juga yang menggunakan nama-nama dalam bahasa Sanskerta, seperti Pasa, Séla, dan mungkin Sura.
Selain itu, ada yang mengambil nama dari bahasa Jawa dan bahasa Melayu, seperti Apit dan Besar.
Nama-nama bulan ini menggambarkan aspek-aspek penting dalam kehidupan agama dan budaya Jawa.
Sebagai contoh, bulan Pasa terkait dengan puasa Ramadhan dalam Islam, sementara bulan Mulud terkait dengan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabiulawal.
Bulan Ruwah juga penting, karena terkait dengan Nisfu Sya’ban, saat amalan dari roh selama setahun dianggap dicatat.
Dengan demikian, Kalender Jawa mencerminkan perpaduan antara tradisi Islam, budaya Jawa, dan pengaruh bahasa-bahasa lain.