Resesi seks di China menyebabkan negara Tirai Bambu itu dikabarkan alami penurunan populasi.
Salah satu alasan terjadinya resesi seks di China adalah tingginya biaya untuk membesarkan anak.
Dilansir dari BBC, Gloria, perempuan asal China berusia 30-an memperkirakan bahwa butuh 2.400 dollar per bulan untuk membesarkan anak. Angka tersebut setara dengan Rp37 juta.
Sementara dirinya hanya berprofesi sebagai guru SD dengan pendapatan Rp13,5 juta tiap bulannya.
Gloria yang merupakan satu-satunya anak di dalam keluarga menyebutkan bahwa ia lebih berorientasi pada cicilan. Juga, menabung untuk biaya kehidupan orang tuanya.
Resesi Seks di China Akibat Tingkat Keinginan untuk Subur Rendah
Berdasarkan data terbaru yang dikumpulkan oleh Pusat Penelitian Pengembangan dan Kependudukan China. Wanita di negara ini memilih untuk memiliki satu anak atau tidak sama sekali.
Pada tahun 2015 disebutkan keinginan wanita China untuk tidak memiliki anak adalah sebesar 6 persen.
Angka tersebut kemudian mengalami peningkatan sebanyak 10 persen di tahun 2020.
Persaingan di dalam masyarakat juga menjadi salah satu penyebab penurunan populasi, selain faktor ekonomi.
Uniknya, persaingan tersebut bahkan dimulai sejak seseorang baru saja melahirkan anak.
Kebanyakan orang tua akan berusaha keras untuk memiliki rumah di kawasan elit dengan harga selangit.
Kemudian memasukkan anaknya ke sekolah terbaik dan full fasilitas dengan les dan beragam kegiatan ekstrakurikuler lainnya.
“Saya tidak ingin membawa kehidupan baru (anak) ke dalam lingkungan persaingan yang kejam,” ucap Mia (22), seorang mahasiswi di China kepada BBC.
Alasan berikutnya yang menyebabkan wanita di China tidak ingin memiliki anak adalah terkait pengembangan karir.
Dalam sebuah wawancara kerja, wanita biasanya akan ditanyai terkait rencana memiliki anak dalam beberapa waktu ke depan.
Apabila mereka menjawab ‘Ya’, peluang untuk berhasil memperoleh pekerjaan sangatlah rendah. Bahkan, kemungkinan untuk bisa dapat promosi pun sangat kecil.
Resesi seks di China terkait dengan realisasi diri. Hal ini diungkapkan oleh asisten professor sosiologi di University of Michigan, Dr Yun Zhou.
“Bekerja bagi mereka adalah tentang realisasi diri. Dalam pasar kerja yang penuh dengan diskriminasi gender, sulit untuk memilih antara karir atau memiliki anak,” ujarnya.