Istilah duck syndrom berasal dari sebuah gagasan bahwa seekor bebek bisa terlihat tenang di permukaan air.
Namun, sebenarnya sibuk mengayuh di bawah permukaan air agar tetap mengapung. Beberapa orang bisa mengalami duck syndrom yang tampak tenang, tetapi panik berusaha mengikuti arus.
Kondisi tersebut belum termasuk kategori kesehatan mental. Namun, harus tetap dicari solusinya agar bisa menjalani kehidupan dengan baik.
Apa Itu Duck Syndrom?
Teori duck syndrom sering digunakan untuk menggambarkan kondisi mahasiswa yang terlihat sukses menjalani kehidupan, namun sebenarnya kewalahan.
Menjalani masa perkuliahan menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa. Dari segi kesehatan mental, tekanan masa perkuliahan membuat sebagian mahasiswa mengalami sindrom ini.
Duck syndrom pada mahasiswa merupakan gambaran mahasiswa berusaha terlihat sukses dan mudah menjalani kehidupannya. Padahal sebenarnya, ia sangat kewalahan beradaptasi.
Hal tersebut bukan sebuah diagnosis psikologis, akan tetapi erat kaitannya dengan kondisi mental. Jika dibiarkan begitu saja, bukan berarti baik-baik saja untuk mental para mahasiswa.
Sering juga disebut sebagai Stanford duck syndrom, sebab istilah ini pertama kali diberikan kepada mahasiswa Stanford University.
Para mahasiswa Stanford University ingin memberikan kesan bahwa hidup mereka mulus dalam menjalani tantangan hidup.
Orang yang mengalami sindrom ini berusaha sukses di bidang akademik, sosial, masyarakat dan berbagai bidang lain.
Para mahasiswa terlihat ambisius padahal dibaliknya memiliki tekanan pada diri sendiri untuk bisa berhasil. Terlebih lagi, mereka harus mampu memenuhi harapan tinggi orang lain.
Tekanan yang dirasakan akan menimbulkan stres, kemudian bisa berkembang ke gangguan kecemasan hingga depresi.
Orang-orang di sekitar Anda yang mungkin memberikan tekanan harus berhasil untuk memenuhi ekspektasi tinggi. Kondisi ini terjadi ketika orang mencoba menciptakan ilusi kehidupan.
Untuk mewujudkan kehidupan sempurna tersebut, Anda diam-diam bekerja keras agar semua bisa terkendali. Akan muncul ketakutan dengan apa yang dipikirkan orang lain.
Terlebih lagi jika mereka tahu bahwa hidup Anda tidak sempurna. Anda akan merasa bahwa tidak ada yang memahami apa yang dialami.
Gejala dan Faktor Risiko Duck Syndrom
Agar lebih mudah memahami sindrom ini, simak penjelasan gejala dan faktor risikonya berikut ini.
Gejala duck syndrom
Waspada jika beberapa gejala duck syndrom sudah muncul di diri Anda, seperti:
- Merasa semuanya di luar kendali.
- Kesulitan untuk menenangkan pikiran.
- Merasa diri sendiri buruk, kesepian, dan mulai membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
- Merasa gugup.
- Gejala fisik, mulai dari energi rendah, sulit tidur, ketegangan otot, mual hingga mulut kering.
- Merasa khawatir terus-menerus, pelupa, pikiran berlomba, sulit untuk fokus, dan penilaian yang buruk.
- Terjadi perubahan perilaku termasuk perubahan nafsu makan dan perilaku gugup, seperti menggigit kuku.
Saat mencoba memasang wajah tenang seolah segalanya berjalan sempurna padahal mulai mengalami stress, wajib diwaspadai sebagai duck syndrom.
Faktor risikonya
Ada beberapa faktor risiko yang membuat mahasiswa lebih rentan mengalami duck syndrom, antara lain:
Pengalaman pertama di dunia kuliah
Faktor yang lebih spesifik berkaitan dengan pengalaman di dunia kuliah, seperti:
- Hidup mandiri dan harus tinggal jauh dari keluarga untuk pertama kali.
- Tuntutan akademik yang meningkat secara signifikan dibanding saat sekolah.
- Tekanan sosial yang berkaitan dengan aktivitas perkuliahan.
Tekanan media sosial
Faktor potensial selanjutnya yang mendorong seseorang mengalami sindrom ini adalah dari media sosial, khususnya untuk orang dewasa muda.
Mereka seakan dituntut untuk tampak sukses dan sempurna tidak peduli seberapa besar tekanan yang akan dialaminya.
Keluarga dan pengasuhan
Menyoroti perkembangan mental seseorang tidak terlepas dari pengaruh keluarga serta cara dibesarkan. Anak yang tumbuh di keluarga yang banyak menuntut, beresiko tinggi mengalami duck syndrom.
Orang tua dengan gaya pengasuhan terlalu protektif dan cenderung ikut campur menyebabkan anak hampir tidak pernah merasa kecewa.
Sehingga, membuat anak tidak tahan dengan ujian.
Kondisi otak
Secara biologis, sindrom ini juga bisa terjadi pada orang-orang dengan tingkat neurotransmitter yang tidak normal.
Kondisi ini lebih mudah terjadi pada orang dengan beberapa area otak berukuran kecil.
Keturunan atau genetik
Ada kemungkinan jika orang tua memiliki depresi atau gangguan kecemasan lebih mungkin memiliki anak mengalami duck syndrom.
Kondisi psikologis
Seseorang jauh lebih mudah mengembangkan sindrom ini jika memiliki beberapa kondisi psikologis yang berkontribusi pada depresi atau kecemasan, antara lain:
- Perfeksionis.
- Harga dirinya rendah.
- Citra tubuh negatif.
- Terlalu kritis terhadap diri sendiri.
- Merasa tidak berdaya ketika berhadapan dengan peristiwa negatif.
- Seseorang yang memiliki gangguan perilaku.
- ADHD.
- Memiliki masalah kognitif.
- Orang yang kesulitan terlibat dalam kegiatan sosial.
Pengalaman traumatis
Sindrom ini juga bisa disebabkan dari hasil reaksi terhadap berbagai tekanan hidup yang mempengaruhi seseorang untuk mengembangkan gangguan mental, seperti:
- Mengalami trauma karena pernah menjadi korban pelecehan baik fisik, verbal, maupun seksual.
- Paparan kekerasan dalam rumah tangga.
- Kematian orang yang dicintai.
- Masalah di sekolah.
- Bullying.
- Tekanan dari teman sebaya.
Cara Mengatasi Duck Syndrom dengan Tepat
Duck syndrom bukan diagnosis psikologis, sehingga belum memiliki metode penanganan secara khusus. Namun, kecemasan dan depresi akibat dari sindrom ini bisa ditangani menggunakan beberapa cara:
Menjalani terapi psikologi
Anda bisa berkonsultasi dengan psikolog maupun psikiater untuk membantu mengelola pikiran serta mendukung apa yang dibutuhkan.
Selain itu, jika Anda merasa seolah-olah tuntutan hidup terlalu banyak, maka terapi bisa membantu menjadi lebih rileks dan bahagia.
Menemukan terapis yang tepat merupakan hal penting untuk mendapatkan terapi sesuai kebutuhan. Selama sesi, terapis akan menjelaskan bagaimana rangkaian perawatan akan membantu Anda.
Pemberian obat-obatan
Jika memang membutuhkan, dokter kesehatan jiwa akan meresepkan obat-obat anti depresan dan anti kecemasan. Hal ini bertujuan untuk meringankan gejala yang berkaitan dengan duck syndrom.
Jika Anda tertarik mengkonsumsi suplemen atau obat tertentu yang bisa mengklaim meredakan stres sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu.
Dokter akan menjelaskan manfaat obat beserta efek sampingnya.
Self care
Anda juga bisa mencari dukungan di luar terapi untuk meringankan duck syndrom, seperti:
- Minta bantuan orang lain yang kompeten seperti profesor di kampus.
- Mendapatkan bimbingan belajar yang diperlukan.
- Mengetahui dan memanfaatkan sumber daya yang ada di kampus untuk meningkatkan kemampuan.
- Melatih perhatian penuh.
- Mempelajari keterampilan manajemen waktu.
- Mulailah berbicara dengan orang yang Anda cintai.
- Belajar menetapkan tujuan yang spesifik, terukur, terjangkau, relevan, dan memiliki jangka waktu.
Persaingan hidup mulai dari permasalahan akademik, bisnis, pekerjaan adalah bagian dari hidup yang tidak bisa dipungkiri.
Namun, bukan berarti hal tersebut Anda jadikan alasan untuk mengabaikan kesehatan mental. Ingatlah, bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan semua orang memiliki perjuangan masing-masing.
Kesehatan mental tetap menjadi perhatian utama agar bisa menjalani hidup dengan damai terlepas dari berbagai masalah yang datang.
Jika Anda mulai merasakan duck syndrom, apalagi sudah merasakan cemas dan keinginan bunuh diri bisa langsung berkonsultasi dengan psikolog.